28/01/14

Aliran Kopi

Faliq Ayken


Pada tengah malam aku melihatnya penuh tanya
Mengapa ia selalu bangun dan langsung menuju dapur?
Apakah di sana ia akan menemui kekasihnya?
Atau hanya ingin bermeditasi melanjutkan tafakur demi tafakur?

Setelah kulihat, kutemukan jawaban tanpa kepastian
Di tangan kirinya ada secangkir kopi imajinasi
Di tangan kanannya, air puisi segera dituangkan
"Aku ingin kau yang mengaduk kopi ini," katanya dengan santai
Minumlah segera. Untuk apa? Untuk luka-lukamu yang belum terobati

Tegukan pertama tersesat, alirannya tersendat
Puisi-puisiku tak mengalir dengan cepat
Katanya, "Tanpa kopi, secangkir imajinasi tiada puisi."
"Malam dan secangkir kopi adalah sahabat paling hangat
untuk menemanimu berpuisi."

Lagi-lagi kopi, puisi-puisi tak basa-basi
Lagi-lagi puisi, luka-luka terobati


Ciputat,
Minggu, 26 Januari 2014

21/01/14

Menunggumu

Faliq Ayken


Sudah sebulan aku tak bertemu air
Mungkin langit sedang mendidikku dengan cara menyiksa
Atau ia sedang dididik Tuhan untuk tak boros menurunkannya

Setiap pagi, siang, dan malam aku kehausan
Tanah sebagai sahabat setia, kekeringan

Tapi Tuhan, akarku kuat menjaga tubuhku yang bau
Setiap saat aku melobi bumi agar tak meninggalkanku
"Kita sedang dididik agar kuat," kataku kepadanya
"Mungkin ada sikap kita yang Ia tak suka," jawabnya kepadaku

Kali ini tubuhku tak lagi bau
Setiap hari, air langit turun
Daun-daunku lambat laun menjadi rimbun

Di bangku taman, ada seorang lelaki menulis dua larik puisi:
"Di bawah pepohonan rimbun, kududuk di bangku kenangan.
Berteman sepi dan rinai hujan."
"Aku menunggumu di sini;
Dari pohon gundul tanpa daun sampai tumbuh rimbun.
Datanglah, sayang, temui aku di bangku taman."

Hujan datang,
Membawa air kerinduan
Kami basah, penuh kebahagiaan


Pondok Petir,
Minggu, 19 Januari 2014

Huruf Liar -Blog Puisi Faliq Ayken by Ourblogtemplates.com 2014